Kehilanganmu

Tepat setahun lalu, WA-ku kau blokir untuk yang pertama kalinya, aku tahu agar kau lebih leluasa berkomunikasi dengan pacarmu, tapi bodohnya aku, tetap menjadikan namamu sebagai bagian terpenting dalam doaku, dan aku tak tahu malu pada Tuhanku, selalu meminta apa yang tak pernah dimiliki Tuhanku.

Waktu itu, setelah urusanmu beres soal donasi bus untuk acara haul Solo, mungkin aku yang berperan terpenting dalam hal itu agar uangmu aman dan benar-benar bermanfaat untuk membawa santri-santri ke Solo tanpa adanya embel-embel masuk kantong koruptor atau ajang cari muka pada kyai oleh beberapa oknum. Lalu kau minta izin untuk memblokirku dengan alasan tak lagi memakai WA. Dua akun WA-mu sudah kudapat dengan mudah.

Laila, soal gadget, aku bukan anak kemarin sore, bahkan bisa jadi aku jauh lebih cerdik dibanding kemampuanmu menipu lewat medsos, soal hode atau akun fake, aku sangat mahir sebab aku sudah menggunakan medsos sepuluh tahun silam. Banyak hal yang belum kau pelajari, termasuk belajar menghargai perasaan orang lain meski lewat medsos.

Aku tahu kau selalu berbohong, tapi anehnya aku selalu percaya. Aku tahu Komar adalah pacarmu, aku tahu kau sangat menyayanginya hingga kau selalu menyebut Gendutmu itu di hadapan Hanna, meski kau berusaha menutupinya dariku, aku akan terus percaya bahwa dia bukan siapa-siapamu hingga tiba saatnya kau menikah dengan Gendutmu, 14 Januari 2019.

Kecewa? Pasti rasa itu ada; manusiawi juga. Tapi jika kau menikah dengan gendutmu membuatmu harus meninggalkan cadar, aku sangat kecewa dan mungkin yang satu-satunya paling kecewa. Kita memperjuangkannya dengan sangat berat, tiba-tiba dengan entengnya kau tinggalkan. Aku juga mulai melihatmu meninggalkan ilmu-ilmu yang diajarkan gurumu, Buya Yahya. Gurumu itu ulama besar Indonesia, bukan sembarang orang, harusnya kau bersyukur bisa menimba ilmu dari beliau dan seharusnya kita menjaga dan mengamalkan ilmu itu bersama. Ah, tak mengapa.

Kurang dua minggu dari pernikahanmu, aku masih saja meminta keajaiban pada Tuhanku hingga kusempatkan ke Solo untuk berdoa khusus meminta agar Allah menjadikanmu sebagai milikku di dunia dan di surga. Sakit, aku sudah terbiasa. Di Solo aku sakit, sehingga aku berharap semoga berkat Habib Ali dan doa orang yang sakit lebih didengar Tuhanku.

Aku paling malu dengan ibuku, namamu telah menjadi bagian doa di tengah gulitanya, bahkan gambarmu di gelas-gelas itu menjadi bahagianya. Sayangnya doanya belum didengar Tuhannya. Mungkin dosaku terlalu luas melebihi samudera-Nya, dosaku terlalu besar melebihi langit-Nya, dan dosaku terlalu banyak melebihi butiran pasir Sahara-Nya, sehingga doa seorang ibu untuk anaknya yang dijanjikan terwujud, hanyalah jadi cerita buat si tole.

Pantaskah aku menuntut pada Tuhanku? Ah, rasanya terlalu egois. Tuhanku pernah berjanji, “Mintalah pada-Ku! Niscaya akan kukabulkan pintamu.” Aku meminta banyak hal, tapi memintamu adalah hal yang paling sering kusebutkan. Aku baru sadar, Tuhanku hanya memiliki satu Laila yang kumaksudkan itu, padahal yang meminta terlalu banyak, yang terbaiklah yang bakal dikabulkan, dan aku sadar, itu bukan aku.

Membantumu sampai harus bolak-balik ke Semarang, lalu ditipu pengurus pondok, aku melakukannya dengan tulus hingga kusembunyikan hal itu agar kau tak merasa kecewa, biar aku sendiri yang kecewa sebab uang kita hanya menjadi alat untuk cari muka. Kini kekecewaan itu kau tambah dengan kepergianmu.

“Aku sadar siapalah diri ini? Bagaikan pipit di sisimu dan kau merak kahyangan, ‘ku tak disenangi. Kusapu air mata tanda perpisahan.” (Stings). Ah, akhir-akhir ini aku kembali menjadi pemeran Senja Menjanda yang melankolist, suka lagu-lagu galau dan sering berteriak tak jelas di kamar mandi.

Rumahmu seperti rumah Laila, hanya saja aku tak menciumi daun pintu rumahmu. Waktuku terlalu singkat di pelataran rumahmu, andai sedikit lebih lama, pasti kubersihkan teras rumahmu dengan air mata kerinduan. Merindu selama tujuh tahun, tiba-tiba kita dipertemukan oleh perpisahan. Adakah duka yang lebih mendalam dari itu?

“Gue kenalin temen SD gua, yah? Sekarang dia kuliah sambil mondok. Dia nyari yang pondokan. Gimana kalo lu aje? Dia nggak neko-neko kaya gua.”

“:D”

“Malah ketawa, ini serius.”

“Oke, dah.”

“Tapi lu dulu yang chat!”

“(y)”

Sejak maghrib sampai isya, kau belum juga membalas chatku yang katanya hendak mengenalkan perempuan selainmu. Ah, kau ini bodoh kenapa? Tidakkah kau sadar, kesetiaanku tak bisa kupermainkan sebagaimana kau memainkan air mataku untuk kau percikkan ke wajah Komar.

“Nih orang katanya mo ngenalin cewek, sampe sekarang kagak ada wujudnya.”

“Sabar, donk! Baru tau gua, kalo lu kagak sabaran.”

“-_-“

“08969974XXXX. Ini nomer WA-nya, cepetan lu WA!”

Semalaman aku hubungi temanmu itu untuk sedikit mengusir gundah di hati, rupanya aku seperti menghadapi budak yang takut pada tuannya. Tak seperti kau yang interaktif dan lucu, meskipun bahasamu sedikit kasar, tapi aku suka.

“Ah, ternyata kagak asik kayak lu.”

“Wkwkkwk. Sabar donk! Nih orang maunya yang perfect aja. Kalo kagak asik, lu yang buat asik, lah!”

“Njeh, Ndoroo! Gua cari bahan obrolan sampe pusing, dia cuma jawab nggah nggeh doank.”

“Hahaha, sabar.”

“Eh, ternyata lu nikah hari Senin? Diajuin hari Ahad napa?”

“Eh, kagak bisa donk! Udah ditentuin jauh-jauh hari.”

“Ya udah, gua dateng malem Senin aja. Abis Maghrib.”

“Terserah. Kagak dateng juga kagak kenapa. Yang penting doa.”

“Itu udah pasti, bonusnya gelas.”

“:D :D”

Mulai saat ini, aku akan berusaha melupakan indahnya masa lalu kita. Aku akan mencoba melupakan kapan kau hijrah dan aku yang menjadi tumpuan semangatmu, aku akan melupakan bahwa aku selalu di belakangmu untuk hijrahmu, aku akan melupakan pintaku agar kau bercadar. Bakal kulupakan uang kita yang bersanding di rekening, nastar buatan ibu dan mbak Zulfa, prewedd di hutan sawit dan hutan pinus, foto kamar lima, sowan ke pondok sebelum nikah, dan masih terlalu banyak hal yang perlu kulupakan satu demi satu. Tapi maaf jika aku tak bisa melupakan namamu dan tak bisa meninggalkan orang tuamu dari bagian doaku.

Aku tetap berusaha mengistiqomahkan wirid Sakron yang ada namamu sebanyak sembilan bilangan, dan rasanya aku tak bisa menggenapkan kesepuluhnya di hadapan penghulu, kau tetaplah misteri yang tak mungkin tergenapi dalam kisah hidupku.

Oh, iya. Perlu kau tahu, bahwa Marsha Chika itu bukan Marsha momonganku meski akun itu pernah dipakainya hanya beberapa minggu. Aku yang memegang akun itu dan aku dapat banyak informasi darimu dengan akun itu. Semua kebohonganmu terbongkar dengan akun itu, tapi aku percaya. Aku bodoh sekali, yah? J

Aku mendoakan agar kau menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rohmah, pesanku tak banyak, patuhi suamimu dan jadilah makmum yang baik! Aku akan menjauh perlahan sebab aku telah siap untuk terbuang saat saatnya tersia-siakan. Allah bersamamu, Lailaku!

Bandar, 12 Januari 2019

Tinggalkan komentar